Sabtu, 17 Oktober 2015

sedikit mengulas pon-pes Riyadlul Ma'la Al-amin kajen ( RIMA )




KH. MUHIBBI HAMZAWI
Nama lengkap muhibbi hamzawi adalah muhibbi bin bin hamzawi, lahir di desa kajen, margoyoso, pati, pada tanggal 2 februari 1938, dari pasangan bapak muhibbi dan ibu fathimah sukarti.
Beliau adalah anak sulung dari tiga bersaudara, dua saudara beliau yaitu Hj. Musti’ah djayusman dan Hj. Musyarofah mundir beliau berasal dari keluarga orang biasa yang hidup prihatin di masa-masa kritis sebelum kemerdekaan bangsa indonesia, dimana banyak para tokoh masyarakat yang diburu negeri penjajah. Beruntung, orang uanya tidak menjadi target utama tokoh yang ditangkap. Bapaknya berasal dari keluarga yang disegani masyrakat, karena kehati-hatiannya dalam bersikap kepada masyarakat, dan berbudi luhur.
Pada tahun 1967, tepatnya tanggal 15 september 1967, beliau mempersunting Hj. Nihayah binti KH. Baidlowi sirodj, pendiri madrasah salafiyah kajen.
PERJALANAN INTELEKTUAL
Sejak masa kecil, beliau sangat rajin berburu ilmu meskipun membutuhkan perjalanan yang sangat sulit dan materi yang rumit. di masa mudanya, beliau menunjukan berbagai kemahirannya dalam ilmu-ilmu keagamaan terutama ilmu falak, ilmu faroidh, dan ilmu alat lainnya. Berkat kemahirannya inilah, di usia mudanya beliau sudah de beri tanggung jawab beberapa kiai unutk menjadi pengajar. Meskipun orang tuanya kurang mampu, namun tekad beliau untuk terus melanjutkan menunut ilmu ke-pesantren begitu kuat. Beruntung terdapat beberapa kerabat yang mau membantunya untuk mengejar cita-citanya tersebut. Bersama bebrapa temannya, termasuk KH. MA. Sahal Mahfudz, KH. Moh. Ma’mun Mujayyin, dan lain-lain. Beliau menuntut ilmu di Pesantren Sarang Rembang kepada KH. Zubeir. Beliau juga selalu menambah pengetahuannya dengan cara mencari guru-guru lain di tempat lain pula. Beliau juga pernah berjalan kaki setiap hari untuk untuk berguru di daerah terpencil yang jauh dari pesantren sarang hanya sekedar untuk mempelajari kitab yang dianggap sulit unutk dipelajari sendiri. Setiap bulan ramadhan, beliau juga selalu mengikuti pengajian kitab di pesantren-pesantren yang berbeda. Selain itu, beliau juga rutin menjalani tirakat untuk kebaikan, kemudahan dan keberkahan ilmunya/.
Berbagai ilmu yang diperolehnya telah membentuk diri beliau untuk selalu berkarya menulis kitab-kitab dari berbagai bidang ilmu. Kepiawaiannya dalam membuat nadham (syair-syair arab) memudahkan beliau menyairkan ilmu-ilmu agar mudah dipelajarinya. Beberapa karangan beliau yang lebih dari 25 kitab kebanyakan berupa nadhaman. Kitab-kitab karangan beliau diantaranya: Ad durrotu al tsaminah fi ilmi al faroidl, fathu dzil qudrotil matinah syarhud durroha, Ta’liqatun wijaazun Adduroh, Qurrotul Ainini fil ma’rifatil ijtima’ wal kusufain, lu’luatu al zuhur fil ma’rifatil mantiq, khiyarotush shiyaghoh fi ilmi balaghoh, mishakus sha gaha syarhul khiyaroh, minhatul wahhab syarful kifayatit tullah fi qowaaidli fiqhi, mu’jam nahwi ( 1000 bait ), tsamratul hajain fi huquqiz zaujain, ;uddatul muzdawijain fi tsamratil haajain, Al Izzai fi nadhmil tashrifil “Izzi, Audlohut Thuraqaf fi syarhil waraqat (ushul fiqih ) rayyanul Harari fi nadhmil bajuri harari, Gunyatul Abrari fi tarjamitis tsamrah, Qiladatul la’ali limaa yuraa min thuruqil la’laali, khoriidatul la’aali syarah qialdah, Al munbalijah, dan lain-lain. Namun keahlian yang dikenal banyak orang adalah dalam ilmu falaq dan ilmu faroidl. Meskipun demikian kemampuannya dalam bidang fiqhiyah juga membuat beliau selalu ta’dhim agar tidak menimbulkan keangkuhan intelektual. Meskipun usianya tidak jauh beda dengan KH. MA. Sahal Mahfudz dan berteman cukup lama, namun beliau tetap ta’dhim dan menyebut mbah sahal sebagai gurunya.
Perjalanan intelektualnya ini tidak pernah berhenti pada satu titik dan selalu memberikannya secerah tekad dan merangkumnya dalam sederet kitab, seolah ingin memecahkan misteri sebuah ilmu. Bahkan hingga hampir tuutp usianya, beliau menyempatkan diri menggoreskan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Beliau juga tidka berhenti menimba ilmu seta sharing dengan orang lain. dalam pemikirannya, beliau selalu menekankan pentingnya sebuah syari’at unutk menekuni tarekat, untuk mencapai tingkat tarekat, sebaiknya seseorang tidak meninggalkan syari;at agar tetap dalam jalannya dan tidak tersesat. Sedangkan kepeduliannya pada generasi mendatang beliau perlihatkan pada sistem pengajarannya yang relevan dan kontekstual serta mendukung aktifitas dan kreatifitas yang positif.
DARI MASYARAKAT KE PESANTREN
Dalam kiprahnya di masyarakat, beliau lebih senang melebur dengan khalayak masyarakat bawah, tidak ingin mengikuti hiruk pikuk suatu organisasi masyarakat, apalagi terlibat dalam aktifitas politik. Kiprahnya di masyarakat juga mengalami suatu proses yang panjang dari suatu tempatr ke tempat yang lain. kehadirannya selalu menjadi penengah dan pengayom, dan kebetulan juga beliau seorang pegawai negeri sipil di kantor urusan agama sebagai kepala KUA ( kantor urusan agama ). Beliau bertugas berpindah-pindah dari satu kecamatan ke kecamatan lain di kabupaten pati. Seperti kecamatan jaken, dukuhseti, gunung wungkal dan akhirnya di margoyoso. Dala kesempatan ini beliau juga tidak lupa memperikan pencerahan dan pengajaran terhadap tentang ilmu-ilmu agama. Kiprahnya ini modal dan berguna di kemudian hari ketika beliau akhirnya memutuskan diri untuk mendirikan suatu pesantren.
Pengalaman perjalanan intelektual dan kiprahnya di masyarakat tersebut telah membentuk karakter yang tegas, gigih, optimis dan terbuka. Peneguhannya sebagai seorang yang berkarakter dengan berbagai kemampuannya tersebut, akhirnya menarik perhatian KH. Baedlowi Sirodj untuk menjadikannya menantu, dan di nikahkan dengan anak bungsunya HJ. Nihayah. Tepatnya pada 15 september 1967, beliau mempersunting hj. Nihayah yang kemudian memberikan tujuh anak, yaitu: Nashihatul Fathiyah, Qudwatun Niswah, Muhammad Amaruddin Shuheb, Muhammad Ulil Albab, Ahmad Zainul Milal, Eva Romdlonah, dan terakhir Ahmad Khoirul Muntaha. Kesemua anaknya telah menikah kecuali yang paling bungsu, karena telah pulang ke rahmatullah di suia mudanya. Nashihatul fathiyah dipersunting Nor Khafid dan sekarang berdomisili di demak, Qudwatun Niswah di persunting Ahmad Kholil dan berdomisili di Gadudero Sukolilo Pati, Muhammad Amaruddin Shuheb mempersunting Nur Laila Hasun dan menetap di Cokro Magelang tepatnya di Pondok Pesantren Rahmatulloh, Muhammad Ulil Albab mempersunting Isma Rodliyati dari Sukolilo Pati dan menetap di Kajen, meneruskan menjadi pemangku pesantren ayahnya, Ahmad Zainul Milal berkiprah bersama istrinya Siti Fatimah dan menetap di Bogor, sedangkan Eva Romdlonah dipersunting Syaifuddin dan menetap di Pesagi Kayen Pati. Dalam kehidupan keluarga karena kesibukannya dalam bidang keilmuan beliau lebih cenderung membentuk jiwa kemandirian anak-anaknya.
Proses tranmisi sikapnya terlihat jelas setelah beliau menunaikan ibadah haji pada tahun 1986. Beliau selalu berusaha bersabar dan mengajak untuk membangun ketegaran dalam menghadapi setiap permasalahan yang dihadapi. Beliau lebih tekun menorehkan berbagai keilmuannya dengan menyusun kitab-kitab. Beliau selalu menjaga amanat KH. Baidlowi Sirodj agar ikut membantu mengajar bagi keberlangsungan pendidikan di madrasah salafiyah. Setelah beliau pensiun dari kantor urusan agama, beliau berkonsentrasi penuh untuk mengembangkan pendidikan di madrasah salafiyah. Perhatiannya yang begitu tinggi pada generasi mendatang, telah menghantarkan beliau untuk mengayomi dan menuntun santri-santri. Berbagai tunututan dari para koleganya dan para santri, akhirnya beliau mendirikan sebuah pesantren yang berdomisili di kajen dan dinamakan Pondok Pesantren Riyadlul Ma’la A-Amin pada tahun 1998 yang bergerak dibidang sosial kemasyarakatan serta untuk mendukung pengajaran di madrasah salafiyah. Berunutunglah, beliau memiliki banyak kolega sehingga membantu dan mendukungnya untuk terus melanjutkan misi tersebut.
Dengan keberadaan pesantren tersebut, beliau lebih konsentrasi lagi mengajarkan kitab-kitab kuning terutama kitab-kitab yang sampai saat ini masih tersimpan rapi. Meskipun muncul banyak kendala, namun untuk kebaikan bagi masyarakat dan generasi mendatang dan para leluhur, beliau tetap ingin berjuang menyelenggarakan wadah tholabul ilmi. Proses produktif tersebut agak menurun ketika anak bungsunya, Ahmad Khoirul Muntaha lebih dulu di panggil kerahmatullloh pada 04 juli 2001. Namun beliau dengan penuh keikhlasan dan keridlo’an tetap melanjutkan perjuangan untuk meneruskan cita-cita leluhur. Beliau tidak begitu memikirkan siapa yang akan melanjutkannya, karena beliau yakin jika suatu kebaikan dan kemanfaatan dilakukan tentu akan terus berlangsung dengan izin, kehendak, serta aturannya. Beliau selalu mensyukuri atas karunia Allah yang begitu besar terhadap keluarganya dan perjuangannya, dengan penuh kesabaran pula, beliau senantiasa menuntun dan mentransmisi keilmuannya kepada anak-anaknya dan para santrinya, dan dengan kehendak Allah SWT, beliau pulang kerahmatullah pada kamis wage 03 maret 2005 / 21 Muharram 1426 dalam keadaan berbaring miring menghadap qiblat dengan tenang dan damai. Semoga amal, ibadahnya diterima oleh Allah SWT.