Minggu, 30 Desember 2012

islam adalah agama rohmatan lil alaamin

Dalam tradisi Islam, tak semua orang boleh berbicara dan menjadi rujukan dalam agama. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum ia layak berbicara. Dan tradisi ini adalah tradisi yang baik, yang harus terus dilestarikan. Dari tradisi semacam inilah, kemurnian ajaran Islam terus bertahan selama belasan abad.
Di bidang yang berbeda pun hal ini sebenarnya ada dan terus berlaku. Sebagai contoh, seseorang tak berhak berbicara tentang dunia pengobatan dan kedokteran sebelum mendalami ilmu kedokteran yang standar selama bertahun-tahun. Seseorang tak layak dan tak berhak menjadi pilot pesawat terbang, sebelum sekolah di bidang tersebut dalam rentang waktu tertentu dan akhirnya dianggap layak menjadi pilot. Jika ada orang yang tak punya kapabilitas sebagai pilot mencoba mengemudikan pesawat terbang, kita tentu bisa membayangkan apa yang akan terjadi.
Demikian pula untuk memahami makna-makna al-Qur’an, bagi yang tak punya kapasitas keilmuan yang mencukupi, lebih baik mengikuti pendapat ‘ulama yang diakui keilmuannya. Imam Ibn Katsir rahimahullah adalah salah satu ‘ulama tafsir paling berpengaruh, dan kitab tafsir yang ditulis oleh beliau diakui selama beratus tahun sebagai salah satu kitab tafsir terbaik dan layak menjadi rujukan umat Islam.
Bagaimana Imam Ibn Katsir memahami makna rahmatan lil ‘aalamiin? Sebagaimana kita ketahui, ungkapan Islam rahmatan lil ‘aalamiin merujuk pada al-Qur’an surah al-Anbiyaa’ ayat 107, yang berbunyi:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
Artinya: “Dan tidaklah Kami mengutusmu (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Mengomentari ayat ini, Imam Ibn Katsir berkata:
يخبر تعالى أن الله جعل محمدا صلى الله عليه وسلم رحمة للعالمين، أي: أرسله رحمة لهم كلهم، فمن قبل هذه الرحمة وشكر هذه النعمة، سعد في الدنيا والآخرة، ومن ردها وجحدها خسر في الدنيا والآخرة
Artinya: “Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Maksudnya adalah, Allah mengutusnya sebagai rahmat bagi mereka seluruhnya. Barangsiapa menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, maka ia akan bahagia di dunia dan akhirat, dan barangsiapa yang menolak dan mengingkarinya, maka ia akan merugi di dunia dan akhirat.”
Setelah berkomentar seperti di atas, Imam Ibn Katsir kemudian mengutip ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan tema ini, yaitu surah Ibrahim ayat 28 dan 29, sebagai berikut:
ألم تر إلى الذين بدلوا نعمة الله كفرا وأحلوا قومهم دار البوار ؛ جهنم يصلونها وبئس القرار
Artinya: “Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?, Yaitu neraka Jahannam, mereka masuk ke dalamnya, dan Itulah seburuk-buruk tempat kediaman.”
Dari penjelasan Imam Ibn Katsir di atas, bisa kita pahami bahwa diutusnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam –membawa diin Islam– merupakan rahmat atau kasih sayang bagi seluruh alam. Namun, manusia menyikapi hadirnya rahmat ini dengan dua sikap. Pertama, yang menerima rahmat ini dan mensyukuri kehadirannya. Orang-orang yang menerima rahmat ini adalah orang-orang yang menjadikan Islam –yang dibawa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagai diin mereka, mereka akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Kedua, yang menolak dan yang mengingkari, yaitu orang-orang yang menolak seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk hanya berpegang pada diin Islam, mereka akan merugi di dunia dan di akhirat.
Dari penjelasan Imam Ibn Katsir di atas, kita tidak menemukan makna rahmatan lil ‘aalamiin sebagaimana yang dipahami kelompok liberal dan pendukung pluralisme. Bahkan, di banyak ayat, al-Qur’an memberi garis yang sangat tegas antara keimanan dan kekufuran, antara ketaatan dan kemaksiatan.
Penjelasan yang serupa dengan yang disampaikan oleh Imam Ibn Katsir juga kita temukan di kitab at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj karya ulama kontemporer, Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah. Beliau mengatakan:
أي وما أرسلناك يا محمد بشريعة القرآن وهديه وأحكامه إلا لرحمة جميع العالم من الإنس والجن في الدنيا والآخرة، فمن قبل هذه الرحمة، وشكر هذه النعمة، سعد في الدنيا والآخرة، ومن ردّها وجحدها، خسر الدنيا والآخرة
Artinya: “Maknanya yaitu, dan Kami tidak mengutusmu wahai Muhammad dengan syari’ah, petunjuk dan hukum-hukum al-Qur’an kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam, dari kalangan manusia dan jin, di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menerima rahmat ini dan mensyukuri nikmat ini, maka ia akan bahagia di dunia dan akhirat, dan barangsiapa yang menolak dan mengingkarinya, ia akan merugi di dunia dan di akhirat.”
Lihatlah, dengan sangat tegas Dr. Wahbah az-Zuhaili menyatakan yang dimaksud dengan rahmat bagi seluruh alam itu adalah syari’ah, petunjuk dan hukum-hukum al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jauh sekali dari pemahaman kalangan liberal yang memaknai Islam rahmatan lil ‘aalamiin sebagai Islam yang meniadakan banyak sekali hukum-hukum al-Qur’an hanya demi toleransi dan keragaman yang semu.
*****
Hadirnya Islam di tengah-tengah kita merupakan rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berdasarkan riwayat dari Imam ath-Thabari rahimahullah, menyatakan bahwa orang-orang kafir pun merasakan rahmat ini, yaitu dengan diselamatkannya mereka dari bencana yang ditimpakan kepada orang-orang kafir dari umat-umat terdahulu, seperti ditenggelamkan ke dalam bumi, atau ditenggelamkan ke dalam air. Tentu di akhirat orang-orang kafir ini tetap akan mendapat siksa, dan di dunia pun hidup mereka tidak akan bahagia.
Saat ini, kita berada pada dua pilihan, menerima dan mensyukuri adanya rahmat Allah ini, dengan hanya menjadikan diin Islam sebagai way of life. Atau sebaliknya, mengingkari rahmat Allah ini, dengan mengusung ide dan pemikiran yang bertentangan dengan diin Islam. Di manakah posisi kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar